Menipu Sespri Ari Sigit Dilaporkan Ke Polisi

Bermula dari janji manis akan memberi bantuan dana atau pinjaman uang untuk proyek pembangunan mal di Ciranjang, Jakarta Selatan, sekretaris pribadi Ari Haryo Wibowo Hardjojudanto (Ari Sigit) yang bernama Dodi Panca Wardono akan dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait dugaan penipuan dan penggelapan oleh kuasa hukum korban.


Di samping Dodi Panca Wardono, turut dilaporkan ke polisi terduga pelaku lain yakni Adhitia Teguh Gandhi dan kawan-kawan. “Ya, kami selaku kuasa hukum koban melaporkan dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan sesuai Pasal 378 dan 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan oleh DPW, ATG dkk kepada Polda Metro Jaya,” ujar Dian Amalia SH kepada awak media, sembari membenarkan DPW yang dimaksud adalah sekretaris pribadi Ary Sigit cucu almarhum Pak Harto, Sabtu (30/1) di Jakarta.


Dian menjelaskan secara ringkas kronologi dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan Dodi dan Adhitia terhadap kliennya, “Sekitar Februari 2020, klien kami diundang oleh Adhitia untuk datang ke kantor Dodi di Granadi Building lantai 9, Kuningan, Jakarta. Maksud dan tujuan undangan itu adalah guna membahas permintaan klien kami terkait pinjaman uang atau bantuan pendanaan dalam rangka pembangunan mal di Ciranjang. Klien kami datang menemui Dodi yang berkantor di PT. Humpuss. Singkatnya, Dodi dan Adhitia menegaskan bahwa bantuan atau pinjaman pendanaan proyek sebagaimana diajukan klien kami dapat disetujui. Dodi mengatakan kebetulan PT. Humpuss dan Humpuss Grup kebetulan memiliki program yang mengakomodir kebutuhan pinjaman dana 100 sampai 200 milyar rupiah seperti yang dibutuhkan klien kami”.


“Klien kami percaya dengan ucapan Dodi. Rapat pembahasan pinjaman dana dilakukan di ruang kerja Dodi di PT. Humpuss. Selain ruang kantornya yang luas dan mewah, Dodi juga mengaku sebagai sekretaris pribadi Ari Sigit. Dodi mengaku ditugaskan khusus oleh cucu Pak Harto itu untuk mengurus program bantuan modal dan pendanaan proyek,” ungkap Dian.
Beberapa hari setelah rapat membahas proposal proyek, Dodi dan Adhitia menghubungi korban. Mereka menyampaikan pada prinsipnya PT. Humpuss dapat menyetujui proposal pinjaman dana yang diajukan.


“Proposal dapat disetujui. Nanti skemanya adalah kerjasama bagi hasil. Selanjutnya tolong dipenuhi syarat administrasi dan komitmen fee 200 juta rupiah secepatnya, agar pencairan dana segera diproses. Demikian disampaikan Dodi dan Adhitia kepada klien kami,” papar kuasa hukum korban Dian Amala SH.
Selanjutnya Dian menjelaskan, untuk meyakinkan korban, Dodi dan Adhitia mengatakan syarat administrasi dan komitmen fee sebesar 200 juta rupiah itu cukup diserahkan sekali saja. Tidak ada biaya tambahan apapun. Pinjaman dana proyek langsung dicairkan.


Karena uang yang diminta cukup besar. Korban tidak dapat segera menyediakannya. Dodi dan Adhitia berulang kali menghubungi korban agar segera menyerahkan uang 200 juta rupiah sebagaimana disyaratkan.
“Harap dipenuhi segera. Pak Ari Sigit sudah berkali-kali tanya apakah uang itu sudah diterima, karena pencairan uang pembiayaan proyek akan dicairkan,” ujar Dian Amalia mengulang ucapan disampaikan Dodi dan Adhitia kepada korban sebagai tekanan agar uang 200 juta rupiah itu segera dibayar.


Pada 13 Maret 2020 korban menyerahkan uang sebesar 200 juta rupiah sebagaimana diminta Terlapor. Awalnya korban diminta menyerahkan secara tunai, namun korban menolak dengan alasan repot membawa tunai, Terlapor setuju uang tersebut ditransfer ke rekening bank atas nama Terlapor.
Setelah hampir dua bulan sejak penyerahan uang tidak ada kabar, korban menghubungi Terlapor dan mendapat jawaban bahwa pencairan uang pinjaman sedang diproses. Sehari kemudian, Adhitia menghubungi korban guna meminta uang operasional sebesar 40 juta rupiah dengan janji paling lambat minggu depan uang pinjaman proyek pasti dicairkan. Pada 2 Mei 2020 Korban menyerahkan uang 40 juta rupiah sebagaimana diminta Terlapor.


Setelah uang diterima, tidak ada kabar mengenai pencairan uang pinjaman. Korban berulang kali menanyakan kepada Terlapor, namun selalu dijawab agar bersabar dan bersabar. Setelah hampir setahun menunggu kesabaran korban pun habis dan terpaksa melaporkan dugaan kejahatan ini kepada Polda Metro Jaya.

UU ITE Alat Penguasa Pembungkam Aktivis


Penangkapan aktivis senior Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat pada Selasa (13/10) dini hari oleh petugas polisi dari Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Polri menambah panjang catatan hitam pada sejarah kehidupan demokrasi di Indonesia era pemerintahan Jokowi (2014-2020).


Syahganda dan Jumhur hanya dua dari puluhan nama aktivis yang dibungkam melalui penerapan delik pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sejak awal kelahirannya memang terkesan akan menjadi instrumen penguasa dalam menjerat lawan atau musuh politik.

Siapa saja yang dianggap penguasa dapat menimbulkan ancaman bagi kekuasaan dan kepentingan (politik dan pribadi) penguasa dapat langsung diciduk tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang (KUHAP), Konstitusi, Peraturan Kapolri dan segudang peraturan perundang-undangan lain yang melarang keras penangkapan terduga pelanggaran hukum tanpa didahului oleh pemanggilan atau pemeriksaan untuk klarifikasi / dimintai keterangan.


Syahganda dan Jumhur hanya dua nama dari puluhan nama korban kesewenang-wenangan oknum aparat (baca: penguasa) di era Presiden Jokowi dengen kedok pelanggaran UU ITE atau hoaks dan sejenisnya. Jauh sebelumnya, Raden Nuh aktivis senior yang fenomenal melalui akun twitter @Triomacan2000, situs blog Ronin Samurai dan berbagai media online seperti Asatunews.com, Gebraknews.com dan lain-lain, menjadi korban pertama dari penyalahgunaan UU ITE oleh rezim Jokowi. Raden ditangkap hanya selang beberapa hari setelah Presiden Jokowi dilantik. Penangkapan Raden Nuh dihiasi penyebaran berita dan pembentukan opini yang mengesankan aktivis itu seperti seorang penjahat, bukan aktivis yang gencar mengungkap korupsi dan kebejatan penguasa.


Setelah Raden, menyusul sejumlah aktivis lain mulai dari Ongen hingga Ahmad Dani dan Ratna Sarumpaet. Mereka semua ditangkap dan ditahan dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Bangsa Indonesia masih dapat bersyukur karena Habib Rizieq Syihab berhasil lolos dari jeratan UU ITE yang disiapkan penguasa untuk membungkamnya.

Aktivis vs Koruptor
Penyalahgunaan UU ITE yang kerap dijadikan sebagai alat pembungkam dan penindas para aktivis oleh penguasa, menjadi legitimasi tudingan publik bahwa di era Jokowi kehidupan demokrasi dan hak azasi manusia memburuk. Kualitas demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia jatuh ke titik nadir dan mundur beberapa dekade ke belakang, jauh lebih buruk daripada era Suharto pada tahun 1980an atau 1990an.


Tidak cukup penangkapan dan penahanan, para aktivis korban jeratan penyalahgunaan UU ITE hampir semua divonis bersalah oleh majelis hakim. Alat bukti, kesaksian dan lain-lain fakta persidangan tidak pernah menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan. Pokoknya, para aktivis korban penyalahgunaan UU ITE pada akhirnya akan jadi pesakitan dan narapidana, diperlakukan buruk melebihi pejabat busuk, koruptor atau perampok uang negara.


Segenap komponen bangsa Indonesia, mulai dari aktivis hukum dan ham penggiat sosial politik, cendikiawan, ulama, pers, ormas, civitas akademika, partai, politisi, budayawan, DPR, DPD dan seterusnya adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas pembusukan demokrasi dan hukum Indonesia akibat dari penyalahgunaan UU ITE sebagai modus utama penguasa untuk membungkam suara kritis rakyat.
Suara rakyat adalah suara tuhan hanya tinggal slogan kosong tanpa makna. Suara rakyat adalah kebenaran telah jadi mimpi di siang bolong, hampa seperti tulang tanpa isi.
Quo Vadis Demokrasi Indonesia ?

*) Direktur PKSN

Jodi Haryanto, Eriana John dan Hendro Christanto Mafia Investasi Indonesia 10 Tahun Buron Tak Mampu Ditangkap Aparat

Sekitar sebelas tahun lalu tepatnya pada tahun 2009 rakyat Indonesia dihebohkan oleh kasus investasi fiktif yang menggelapkan uang investasi nasabah/investor ratusan miliar rupiah. Pelaku utama penipuan investasi ini adalah Jodi Haryanto Direktur Utama PT. Eurocapital Peregrine Securities yang juga menjabat Wakil Bendahara DPP Partai Demokrat dan calon legislatif DPR RI daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur.

Jodi Haryanto Dirut EPS dan Wabendum DPP Partai Demokrat 2005-2010

Kejahatan Jodi Haryanto yang menyeret PT Eurocapital Peregrine Securities (EPS) tidak dapat diterima oleh pemegang saham EPS sehingga pemegang saham melaporkan Jodi ke polisi. Jodi memanfaatkan posisinya sebagai Wabendum Partai Demokrat agar tidak tersentuh hukum. Kesaktian Jodi semakin terbukti ketika Rudi W Rusli selaku pihak pelapor yang kemudian berbalik malah dijadikan tersangka dan langsung ditahan oleh polisi.

Rudi W Rusli

Perseteruan internal EPS memaksa Jodi Haryanto menggunakan perusahaan lain untuk meyakinkan para investor yang menuntut pertanggungjawaban atas kerugian ratusan miliar uang investasi. Lalu Jodi bersama Eriana John dan Hendro Christanto (istri dan adik kandung Jodi) menggunakan perusahaan sendiri yaitu PT. Falcon Asia Resources Management (FARM) sebagai perusahaan sekuitas pengganti EPS untuk meyakinkan dana investasi milik nasabah tetap aman dan akan dikembalikan seutuhnya.

Untuk lebih meyakinkan investor, Jodi, Eriana dan Hendro Christanto menerbitkan jaminan pribadi (personal guarrantee) dan jaminan dari FARM yang disertai penyerahan aset dalam bentuk sertifikat tanah dan akta perikatan jual beli. Semua itu janji itu dituangkan Jodi, Eriana dan Hendro ke dalam beberapa Akta Pengakuan Hutang dan Kesanggupan Membayar yang dibuat di hadapan Notaris.

Salah satu Akta Pengakuan Hutang Jodi, Eriana dan Hendro Christanto

Akta Pengakuan Hutang Jodi dkk dan FARM ini berhasil menenangkan para investor.

Namun tak lama kemudian, desakan dan tuntutan publik agar proses hukum terhadap Jodi Haryanto cs semakin menguat. Jodi Haryanto Wabendum Partai Demokrat itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka atas pelaporan pidana pemegang saham EPS. Meski jadi tersangka Jodi tidak ditahan polisi. Bahkan saat perkaranya disidangkan di pengadilan, Jodi tetap tidak ditahan. Lebih hebat lagi, Eriana istri Jodi dan Hendro Christanto adik kandung Jodi yang terlibat penggelapan dana investasi nasabah tidak diseret sebagai tersangka oleh penyidik.

Kesaktian Jodi semakin terlihat ketika majelis hakim PN Jakarta Selatan menghukum terdakwa Jodi Haryanto hanya selama 1 tahun, jauh lebih ringan dari tuntutan JPU yang meminta hakim menghukum Jodi selama 10 tahun. Setelah diputus bersalah oleh pengadilan Jodi juga tidak ditahan.

Situasi berubah ketika Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus Jodi bersalah dan memperberat hukuman Jodi menjadi 3 tahun penjara. Putusan tingkat banding ini ternyata percuma karena tidak dapat dieksekusi. Jodi Haryanto sang terpidana tiba-tiba dinyatakan buron (melarikan diri). Jodi menghilang bersama istrinya Eriana dan Hendro Christanto adik kandungnya.

Surat Permintaan Pencarian Penangkapan Buronan an. Jodi Haryanto

Hilangnya ketiga mafia investasi buronan aparat ini juga disertai raibnya ratusan miliar uang investasi nasabah yang menjadi tanggungjawab Jodi, Eriana, Hendro dan PT. Falcon Asia Resources Management (FARM).

Sejak dinyatakan buron pada tahun 2014 lalu hingga akhir tahun 2020 ketiga mafia investasi Indonesia yang telah merugikan uang nasabah ratusan miliar tidak mampu ditangkap polisi. Tidak hanya itu, aset Jodi-Eriana-Hendro yang bernilai ratusan miliar rupiah juga tak kunjung disita.

Tidak ada kepastian sampai kapan kerugian nasabah termasuk BUMN dapat tertutupi karena tidak ada pihak berwenang yang berminat mencari dan menangkap ketiga buronan kakap ini.

Pendeta Jodi Haryanto saat jadi caleg DPR 2009

Kasus penipuan dan penggelapan investasi oleh Wakil Bendahara Partai Demokrat ini sempat menghebohkan rakyat Indonesia namun kasusnya mendadak senyap lenyap ditelan kasus mafia anggaran di mana Nazaruddin Bendahara Partai Demokrat korupsi lebih besar daripada Jodi Haryanto yakni Rp. 6 triliun.

Asal Tuduh Terjangkit Covid Bisa Dipidana

Jangankan skala pandemi, penyebaran Covid-19 dalam skala wabah pun tak ditemukan di Indonesia. Opini Pandemi ini nyata-nyata direkayasa …”

Alfian (Direktur PKSN – Agustus 2020 )

Kebohongan Mengenai Pandemi Covid Telah Membodohi Mayoritas Rakyat Indonesia

Pelaksanaan keputusan pemerintah yang khususnya dalam penerapan pembatasan sosial terhadap seluruh rakyat yang diberlakukan sejak penetapan status bencana nasional atas ancaman pandemi Covid-19 telah menimbulkan banyak permasalahan terutama dugaan pelanggaran hukum dan hak azasi manusia (HAM) oleh petugas medis atau aparat pemerintah.


Melalui pemberitaan media, laporan dari masyarakat atau temuan di lapangan, disebutkan dugaan pelanggaran hukum dan HAM terhadap warga masyarakat oleh aparat atau petugas medis antara lain: penetapan status seseorang sebagai positif terinfeksi covid-19 sehingga orang tersebut diwajibkan atau dipaksa menjalani karantina atau dirawat paksa sebagai pasien pengidap corona virus, sementara itu dasar penetapan status positif terinfeksi covid-19 tidak jelas atau tidak berdasarkan pemeriksaan medis yang tepat.


Kasus terbanyak mencuat dari penetapan status sebagai korban meninggal akibat covid-19 terhadap warga yang meninggal dunia di mana tidak ada bukti medis sebagai dasar penetapan status tersebut.


Warga yang merasa dirugikan atau merasa hak azasinya dilanggar oleh aparat/petugas medis tanpa dasar atau tanpa bukti hasil pemeriksaan medis dapat menuntut secara hukum kepada oknum aparat atau petugas tersebut. Warga yang dirugikan termasuk keluarga dari warga yang meninggal dunia dapat menuntut atau menggugat ganti rugi atau melaporkan oknum tersebut ke polisi atas dugaan tindak pidana.

“Warga yang dirugikan oleh ulah oknum petugas/aparat yang asal tuding bahwa seseorang positif terinfeksi covid-19 atau tudingan seseorang meninggal dunia akibat covid-19 tanpa ada bukti hasil pencemaran medis dapat menuntut ganti rugi dan melapor ke polisi atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan hingga delik pemalsuan”, ujar Raden Nuh, aktivis senior dan advokat di Jakarta, Senin (18/5).


Menurut Raden, banyaknya permasalahan timbul sehubungan dengan penetapan status bencana nasional pandemi dan pembatasan kegiatan sosial oleh pemerintah disebabkan penetapan kebijakan pemerintah itu tidak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak berdasarkan fakta sebenarnya.


“Contoh, penetapan status bencana nasional atas pandemi covid-19 melalui Keppres melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2020 yang tidak memenuhi syarat sebagai mana disebut dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana”, jelas Raden Nuh.


Data warga yang positif terinfeksi dan korban meninggal akibat Covid-19 diragukan akurasi dan validitasnya. Berdasarkan penelitian Raden Nuh di lapangan, banyak ditemukan data palsu atau tidak sesuai fakta. “Orang meninggal dunia biasa atau akibat penyakit lain tapi dicatat sebagai korban pandemi covid”.


Raden Nuh mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk tetap berpikir sehat, kritis dan skeptis dalam menerima informasi terutama pemberitaan media dan keterangan pemerintah seputar pandemi covid.


“Berdasarkan data dan fakta yang ada, saya yakin pandemi covid tidak terjadi di Indonesia karena tidak ditemukan karakteristik atau ciri khas sebuah pandemi di Indonesia, yakni tidak ada lonjakan tajam jumlah warga positif terinfeksi atau korban meninggal dunia akibat covid di suatu area tertentu pada suatu masa tertentu. Singkatnya, menurut saya pandemi covid di Indonesia hanya sebatas opini dan bukan fakta”, pungkas Raden.

Jodi Haryanto – Eriana – Hendro Christanto Trio Buronan Sakti Indonesia

Jodi Haryanto – Eriana – Hendro Christanto 10 Tahun Buron Tak Mampu Ditangkap aparat. Mengapa? Saktikah mereka?

Sudah 10 tahun Jodi Haryanto buron dari hukuman penjara 3 tahun yang diputuskan Mahkamah Agung. Putusan MA ini mengukuhkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Sebelumnya, PN Jakarta Selatan aneh bin ajaib hanya menghukum Jodi Haryanto Wakil Bendahara dan Caleg Partai Demokrat itu setahun penjara dari tuntutan 10 tahun penjara yang disampaikan jaksa penuntut umum.



Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menambah vonis eks Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat Jodi Haryanto menjadi tiga tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga diperintahkan agar segera menahan terdakwa. Tapi apa lacur,   Jodi keburu menghilang tak dicari keberadaannya. Menyusul adiknya Hendro Christanto dan istrinya Eriana. Ratusan miliar rupiah uang investor ikut menghilang bersama mereka.

Eriana adalah pemegang saham 51% atau pemilik mayoritas PT. Falcon Asia Resources Management (FARM) yang diajukan Jodi sebagai perusahaan yang bertanggungjawab atas ratusan miliar rupiah uang investor yang digelapkan Jodi Haryanto ketika menjabat sebagai Direktur Utama PT. Eurocapital Peregrine Sekuritas.

Hendro Christanto adalah pemegang saham 29% PT. FARM. Sisanya 20% saham atas nama Jodi Haryanto. Singkatnya suami istri Jodi-Eriana dan adiknya Hendro Christanto adalah tiga pelaku utama perampokan uang nasabah dengan kedok kerjasama pengelolaan dana investasi.

Aneh bin ajaib, penyidikan kasus penggelapan dan investasi bodong ini berhenti hanya di Jodi Haryanto. Jelas ada kekuatan sakti di belakang Jodi yang membuat Jodi dihukum sangat ringan, bebas buron selama lebih 10 tahun, Eriana istri Jodi sampai hari ini selamat dari jeratan hukum dan adiknya Hendro Christanto menghilang tanpa ada penjara menanti kemunculannya.

“Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terkecuali tentang lamanya pidana dan perintah penahanan. Menghukum terdakwa Jodi Haryanto selama tiga tahun penjara, dan memerintahkan terdakwa untuk segera ditahan,” ujar salah satu anggota majelis hakim, Achmad Sobari melalui pesan singkat kepada wartawan, Jumat (26/8/2011).

Perkara tersebut terdaftar dengan putusan nomor 217/Pid/2011/PT DKI, tertanggal 25 Agustus 2011. PN Jaksel pada 20 Agustus 2010, memvonis Jodi yang juga mantan Dirut PT Eurocapital Peregrine Securitas (EPS) selama satu tahun penjara.


Keputusan tersebut lanjut Sobari, diambil berdasarkan hasil keputusan musyawarah majelis hakim yang terdiri dari, H. Muchtar Ritonga (Ketua), Achmad Sobari (Anggota), dan Nasaruddin Tappo.


Pada amar putusan sebelumnya pengadilan telah menyatakan  Jodi Haryanto terbukti memalsukan tandatangan dalam dokumen gadai rekening EPS senilai Rp 80 miliar yang tersimpan di BCA. Meski begitu Jodi belum kunjung ditahan.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jaksel, Masyhudi menegaskan pihaknya dengan segera akan mengeksekusi Jodi Haryanto setelah salinan putusan diterima.
“Tentunya sesuai dengan keputusan hakim tingkat banding, kejaksaan sebagai pihak eksekutor akan segera menjalani perintah itu,” katanya.


Kejaksaan lanjut dia, juga terus mencari Jodi yang keberadaannya hingga kini belum diketahui. “Kita tentunya akan terus mencari dan menetapkan yang bersangkutan dalam daftar pencarian orang,” terangnya.


Di lain pihak, Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menegaskan hukum tetap harus ditegakkan meskipun yang terjerat itu berasal dari kader Demokrat sendiri. Putusan Pengadilan Tinggi harus tetap dilaksanakan.


“Putusan pengadilan Tinggi bisa terjadi, karena ada bukti baru dalam persidangan. Ada hal-hal yang dilihat oleh hakim PT, putusan itu tidak sesua, apalagi yang merasa dirugikan bisa menambahakan bukti-bukti lain yang tidak terungkap di pengadilan negeri, jadi sebaiknya Jodi segera ditahan,” jelasnya.


Seperti diketahui, dugaan keterlibatan mafia peradilan dalam kasus Jodi Haryanto ini terkuak lantaran mantan Direktur Utama PT Eurocapital Peregrine Securities (EPS) yang divonis selama satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini hingga kini berkas perkaranya belum juga dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Padahal, saat kasus itu divonis pada 2 Agustus 2010 lalu, JPU langsung menyatakan banding.

Pengacara EPS, Lukmanul Hakim menduga terjadinya kaloborasi jahat antara Jodi Haryanto dengan aparat penegak hukum.
Dia didakwa 3 pasal berlapis yakni money laundring, penggelapan, dan pemalsuan tanda tangan. Sedangkan yang sudah sudah divonis baru terkait pasal pemalsuan tanda tangan.


Jodi sendiri sudah divonis satu tahun penjara, namun sejak tahap penyidikan, penuntutan, hingga vonis tak kunjung dilakukan penahanan terhadap diri Jodi Haryanto. Luar biasaaa !

Terhambatnya perkara berdasarkan info dari PN Jakarta Selatan, lantaran berkas perkara mantan Wakil Bendahara Umum DPP Partai Demokrat baru diterima oleh pihak panitera pidana banding pada Desember 2010. Benarkah ?
 

Diduga Palsukan Akta Otentik Politisi Kawakan Suko Sudarso Dilaporkan Ke Polisi

Suko Sudarso (78 tahun) kembali dilaporkan ke pihak kepolisian atas dugaan tindak pidana pemalsuan akta otentik atau memasukan keterangan palsu/tidak benar ke dalam akta otentik.

“Tadi telah selesai dilaporkan dugaan tindak pidana pasal 263, 264 jo 266 KUH Pidana atas nama Terlapor Saudara SS, dilaporkan oleh klien kami Ibu Bulan Purnamasari di Ditreskrimum (Direktorat Reserse Kriminal Umum) Polda Metro Jaya”  ungkap Edy Syahputra SH, penasihat hukum pelapor Purnamasari, Jumat (10/7) sore, di Polda Metro Jaya, Jl. Gatot Subroto Jakarta.

Sebelumnya Suko Sudarso juga pernah dilaporkan atas dugaan tindak pidana yang sama, pemalsuan akta otentik. Pada 13 Maret 2020 lalu, Suko Sudarso dilaporkan oleh advokat Muin Tualeka SH atas nama klien ke Polda Metro Jaya.

Saat ditanya perihal dugaan tindak pidana Suko Sudarso yang pernah dilaporkan sebelumnya, Edy Syahputra menjawab laporan ini tidak sama atau beda dengan laporan sebelumnya.

 “Dugaan tindak pidana yang dilaporkan klien saya terkait pemalsuan akta-akta perusahaan PT Iman Tatakerta Rahardja (ITR) yang baru kami temukan. Terlapor (SS) diduga menyuruh pihak Notaris untuk memasukan keterangan palsu yakni mengenai hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ITR ke dalam akta peryataan RUPS ITR, di mana disebutkan bahwa RUPS ITR itu dihadiri oleh seluruh pemegang saham, padahal faktanya pemegang saham yang juga adalah direktur perseroan sudah meninggal dunia dua bulan sebelumnya,” papar Edy kepada awak media.

Meski diketahui Terlapor Suko Sudarso adalah tokoh nasional senior yang dikenal memiliki hubungan baik dengan elit penguasa, penasihat hukum Purnamasari tetap optimis laporan pengaduannya diproses penyidik sebagaimana mestinya.

“Kami optimis penyidik bersikap profesional berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Siapa pun yang terbukti bersalah, melakukan kejahatan harus diproses tanpa pandang bulu. Negara kita adalah negara hukum bukan negara kekuasaan” pungkas Edy.

Diduga Palsukan Akta Otentik Politisi Kawakan Suko Sudarso Dilaporkan Ke Polisi

Suko Sudarso (78 tahun) kembali dilaporkan ke pihak kepolisian atas dugaan tindak pidana pemalsuan akta otentik atau memasukan keterangan palsu/tidak benar ke dalam akta otentik.

“Tadi telah selesai dilaporkan dugaan tindak pidana pasal 263, 264 jo 266 KUH Pidana atas nama Terlapor Saudara SS, dilaporkan oleh klien kami Ibu Bulan Purnamasari di Ditreskrimum (Direktorat Reserse Kriminal Umum) Polda Metro Jaya”  ungkap Edy Syahputra SH, penasihat hukum pelapor Purnamasari, Jumat (10/7) sore, di Polda Metro Jaya, Jl. Gatot Subroto Jakarta.

Sebelumnya Suko Sudarso juga pernah dilaporkan atas dugaan tindak pidana yang sama, pemalsuan akta otentik. Pada 13 Maret 2020 lalu, Suko Sudarso dilaporkan oleh advokat Muin Tualeka SH atas nama klien ke Polda Metro Jaya.

Saat ditanya perihal dugaan tindak pidana Suko Sudarso yang pernah dilaporkan sebelumnya, Edy Syahputra menjawab laporan ini tidak sama atau beda dengan laporan sebelumnya.

 “Dugaan tindak pidana yang dilaporkan klien saya terkait pemalsuan akta-akta perusahaan PT Iman Tatakerta Rahardja (ITR) yang baru kami temukan. Terlapor (SS) diduga menyuruh pihak Notaris untuk memasukan keterangan palsu yakni mengenai hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ITR ke dalam akta peryataan RUPS ITR, di mana disebutkan bahwa RUPS ITR itu dihadiri oleh seluruh pemegang saham, padahal faktanya pemegang saham yang juga adalah direktur perseroan sudah meninggal dunia dua bulan sebelumnya,” papar Edy kepada awak media.

Meski diketahui Terlapor Suko Sudarso adalah tokoh nasional senior yang dikenal memiliki hubungan baik dengan elit penguasa, penasihat hukum Purnamasari tetap optimis laporan pengaduannya diproses penyidik sebagaimana mestinya.

“Kami optimis penyidik bersikap profesional berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Siapa pun yang terbukti bersalah, melakukan kejahatan harus diproses tanpa pandang bulu. Negara kita adalah negara hukum bukan negara kekuasaan” pungkas Edy.